Sabtu, 19 Maret 2011

kajian sosiologi sastra pada cerpen





Kajian Sosiologi Sastra pada Cerpen “Romansa Merah Jambu”


a.      Teori Pembahasan

1. Pengertian Sosiologi Sastra
          Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
          Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
          Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. 
2. Sejarah Pertumbuhan
          Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
          Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
          Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
          Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
          Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
          Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
          Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.

Cerpen “Romansa Merah Jambu”
Bagi Gadis, menyendiri di tepi danau, menunggu seseorang yang pernah berjanji padanya tidak cuma bingung dan termenung.
Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu, dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam. Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening.
Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat, dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam.
Semula, Bapak dan Emak agak ragu untuk mengizinkan Si Pelukis dan putranya mendirikan tenda di tepi ladang mereka. Berkat perilaku santun kedua tamu, hati orangtua Gadis luluh. Keramahtamahan Si Pelukis dan putranya menjadikan mereka cepat akrab. Usia putra Si Pelukis dan Gadis hampir sebaya.
Setelah mendirikan tenda, Si Pelukis minta tolong kepada Emak untuk memasak makanan buat sarapan, makan siang, dan malam—selama mereka bermukin di tepi ladang yang lengang itu. Bapak mengizinkan Emak memasak untuk mereka. Si Pelukis menyerahkan sejumlah uang untuk belanja kepada Emak. Uang itu ditolak Emak. Tetapi, setelah dibujuk berulang-ulang oleh Si Pelukis dengan sabar dan manis, akhirnya uang yang cukup banyak itu diterima Emak. Giliran Gadis menolak uang itu. Katanya, tidak pantas tamu membayar makan kepada tuan dan nyonya rumah. Si Pelukis mengatakan kepada si perawan cantik itu, ”Aku dan putraku bukanlah tamu keluarga di ladang ini. Kami tidak mau membebani keluarga ini. Uang itu tak seberapa. Ya, itu hanya sekadar tanda terima kasih. Kalau pemberian kami itu ditolak, sama dengan keluarga ini tidak ikhlas menerima kami,” lanjut Si Pelukis, lirih.
Setelah Si Pelukis dan putranya masuk tenda, Gadis menggerutu kepada Emak.
”Uang pemberian Si Pelukis itu akan membuat Bapak, Emak, dan aku berutang budi kepada Si Pelukis. Keluarga kecil kita ini bisa disangka mata duitan,” sambungnya. Bapak mengatakan, uang itu sebagai tanda terima kasih. Tidak elok menolak ucapan terima kasih dari seseorang, lanjut Bapak. Sejak saat itu, Gadis diam. Dia pergi ke tepi danau dan menyulam.
Selesai sarapan pagi, esoknya, Si Pelukis mengatakan kepada Bapak, beberapa hari ini, ingin melukis bunga anggrek. Dia mengetahui ada sekitar 30.000 jenis bunga anggrek di seluruh dunia. Tetapi, dari sekian banyak jenis anggrek itu, dia hanya akan melukis beberapa jenis saja. Kemudian, dia menunjukkan kepada Bapak daftar nama puluhan macam bunga anggrek, yakni Anggrek Bambu, Anggrek Bulan, Anggrek Buntut Bajing, Anggrek Congkok Kuning, Anggrek Gebeng, Anggrek Hitam, Anggrek Jambrut, Anggrek Janur, Anggrek Kalajengking, Anggrek Kancil, Anggrek Kasut Belang, Anggrek Kasut Berbulu, Anggrek Kasut Pita, Anggrek KembangGoyang, Anggrek Kepang, Anggrek Lau-Batu, Anggrek Lilin, Anggrek Loreng, Anggrek Mawar, Anggrek Merpati, Anggrek Mutiara, Anggrek Pandan, Anggrek Tanah Kuning, Anggrek Tebu, Anggrek Uncal, dan Anggrek Nan Tongga. Sebagian besar nama anggrek itu masih sangat asing bagi Bapak.
Bapak mengaku sejujurnya, sedikit sekali pengetahuannya mengenai bunga anggrek. Bapak tak menjamin, di hutan sekitar ini terdapat anggrek yang diinginkan Si Pelukis. Sambil tersenyum, Si Pelukis berkata, ”Seberapa adanya sajalah, Pak.”
Selama Si Pelukis dan Bapak mencari bunga anggrek di dalam hutan, Emak memasak di dangau. Gadis dan putra Si Pelukis duduk di tepi danau. Mereka ngobrol dengan seorang pemancing tua, sahabat Gadis. Si Pemancing telah berhasil mengail ikan gabus, lele, gurame, betok, dan mujair. Setelah itu, putra Si Pelukis mengajak Gadis duduk di bawah naungan batang rengas *) besar dan tinggi. Kedua orang muda itu saling menanyakan nama lengkap dan bertukar cerita.
”Namaku Kiagus Muhammad Gindo,” putra Si Pelukis menyebutkan nama lengkapnya. ”Panggil saja aku Gindo,” lanjutnya.
”Namaku Masayu Nurul Indahwati,” kata Gadis malu-malu. ”Biasanya, aku dipanggil Gadis,” ucapnya sambil melipat selembar kain belacu putih yang sedang disulamnya.
”Berapa banyak sarung bantal yang sudah Gadis sulam?” tanya Gindo.
”Lumayan,” jawab Gadis, ”Sulit aku menghitungnya. Sejak kecil aku sudah belajar menjahit dan menyulam pada Emak. Selain menyulam sarung bantal, aku menyulam hiasan dinding untuk pajangan, taplak meja, saputangan, tas kain, dan macam-macam lagi,” cerita Gadis.
”Kau hebat sekali,” puji Gindo.
”Ah, biasa saja,” ujar Gadis.
Gindo terkejut setelah mendengar cerita Gadis tentang kemampuannya membudidayakan ikan patin dan nila. Gadis akan meneliti ikan belida, dalam waktu dekat. Ternyata, Gadis bukanlah perawan dusun yang berpikir kuno dan tradisional. Gindo memberondong Gadis dengan berbagai pertanyaan tentang masa kecil dan masa kininya, tapi tidak berhasil mendapat jawaban sesuai kehendak hatinya. Gadis yang berwajah cantik dan tenang, pemilik mata sebening air danau, tak tak membuka pintu rahasia hatinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis.
Waktu terus berlalu. Si Pelukis telah menyelesaikan lukisan bunga anggrek, satwa liar, danau, peladang, pemancing tua, dan mawar hutan. Terakhir, sebelum pamitan, dia minta izin kepada Bapak dan Emak untuk melukis Gadis dengan latar belakang danau dan kebun tembakau. Kata Bapak dan Emak, terserah pada Gadis. Mengejutkan sekali, Gadis menolak jadi model. Dia merasa tidak berminat dan tak berbakat. Dia juga malu, bila wajah dan tubuhnya diabadikan di kain kanvas, kemudian akan dipamerkan di hadapan para kolektor dan penggemar seni lukis di kota-kota besar. Si Pelukis tak putus asa. Dia membujuk Gadis dengan menawarkan sejumlah uang sebagai honorarium. Iming-iming itu tak mengubah pendirian Gadis.
”Maafkan aku, Pak Pelukis,” kata Gadis sopan. ”Bagaimana mungkin Gadis melakukan pekerjaan yang berbeda dengan kata hati? Bila gadis memaksakan diri menjadi model lukisan Bapak, aku yakin lukisan itu tidak akan berjiwa,” lanjutnya tegas, tapi sopan. Kata-kata Gadis, itu menambah kagum Gindo kepadanya. Di dalam hati, Gindo kurang setuju, Gadis menjadi model lukisan ayahnya. Tumbuh benih cemburu di hati pemuda kritis itu.
”Tak apa-apa kalau Gadis keberatan,” kata Si Pelukis. ”Aku tak hendak memaksa,” lanjutnya, berupaya menyembunyikan rasa kecewanya.
Gadis usul kepada Si Pelukis agar melukis sosok dirinya di dalam imajinasi, tetap berlatar belakang danau, atau ketika dirinya sedang memandang sekuntum mawar hutan. Lukisan berdasarkan imajinasi, kata Gadis mungkin akan lebih indah dan berjiwa dibanding yang natural. Si Pelukis tersentak. Dia tersindir. Dia sadar, dirinya bukanlah tukang gambar. Ali adalah seniman lukis, atau perupa berpengalaman, kata hatinya. Saran Gadis diterimanya dengan jiwa besar. Si Pelukis mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Gadis yang ayu, lembut keibuan, dan selalu tampil alami. Bersahaja saja dia. Saat itu pula, Si Pelukis terkenang pada 0lga, istrinya yang sudah lama tiada.
***
Kehadiran Si Pelukis dan putranya beberapa tahun silam dikenang Gadis sambil menyulam di tepi danau. Senja kali ini bergerimis. Pelangi melengkung di seberang sana danau. Gadis membayangkan tujuh bidadari turun meniti pelangi. Para putri kayangan itu mandi berkecipung di air danau—yang kemerahan disinari matahari senja—semerah isi semangka. Pelangi dan bidadari pun menjadi inspirasi bagi Gadis untuk menyulam. Senja itu, Gadis menyulam sekuntum mawar hutan di selembar kain belacu putih. Dia sangat cemas apabila seluruh hutan dan ladang Bapak kelak menjadi lahan kebun kelapa sawit, tak akan ditemukan lagi mawar hutan. Itulah sebabnya Gadis mengabadikan mawar hutan di dalam beberapa sulaman untuk hiasan dinding. Salah satu sulaman bunga mawar hutan, khusus disediakannya untuk Gindo.
Ketika pamitan, dulu, Gindo mengatakan, awal tahun depan akan menemui Gadis di tepi danau. Sekian lama, Gadis setia menunggu, tapi Gindo tak kunjung datang. Penanggalan di dinding dangau telah diganti Bapak dengan kalender baru, Gindo belum juga datang. Gadis segera kembali ke kota, sehabis cuti tahunan, melanjutkan penelitian ikan belida untuk gelar S2-nya. Si pemancing tua, berjenggot putih, sahabat Gadis di tepi danau merasa sepi setelah Gadis pergi.
Gindo tak berniat melanggar janji kepada Gadis. Musibah telah menimpa Si Pelukis gaek, ayahnya. Jip yang dikendarainya masuk jurang, ketika meneruskan pengembaraan sendirian untuk melukis Bukit Barisan. Lelaki tua pemberani itu tewas di tempat kejadian. Gindo berhalangan menemani ayahnya karena sedang mengikuti ujian S2—jurusan ilmu komunikasi di ibu kota provinsi. Mengenai musibah itu, Gindo telah mengirim e-mail kepada Gadis. Pada bagian akhir e-mail itu, Gindo menulis:
”Gadis yang baik. Kini, aku sudah yatim piatu. 0lga, ibuku, yang asal Rusia meninggal 27 tahun lalu, setelah aku lahir. Ayah tidak pernah menikah lagi karena setia, dan sangat cinta pada Ibu. Bila rindu pada Ibu, Ayah ziarah ke makamnya berlama-lama. Aku janji, 40 hari setelah Ayah wafat, aku segera menemuimu di danau. Banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Gadis, Ketahuilah, di dalam diriku sedang menguntum romansa merah jambu. Sampai di sini dulu, ya? Salam. Gindo selalu merindukanmu.” Pesan itu tak sampai karena laptop milik Gadis sedang mengalami error.
Di ujung tahun, Gindo menyetir jip tua peninggalan ayahnya menuju danau. Dia tercengang di depan pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda setinggi lutut—terbentang di depannya seluas mata memandang. Danau makin sunyi. Pemancing tua entah berada di mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi yang berdaun rimbun di sekitar danau itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi perkebunan sawit oleh petugas keamanan berseragam hijau-loreng. Para petugas keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, ”Di mana Emak, Bapak, dan Gadis, setelah hutan, dan ladang mereka digusur?
(Mengenang Tanjung Serian, dusun Bapak, Kepur, dusun Emak, dan Tanjung Raman, dusun Taufik Kiemas—di tepi Sungai Lematang).
Villa Kalisari, Depok, 04 Juni 2010


Sumber : kompas tahun 2010




c.       Kaitan Sosiologi sastra dan Cerpen

Pada cerpen “Romansa Merah Jambu” keadaan sosial yang digambarkan secara garis besar adalah mengenai hubungan dua buah keluarga yang berasal dari desa dan kota. Kedua keluarga tersebut memiliki latar belakang sosial, kepribadian, sikap, dan sifat yang berbeda pula. Keluarga Emak, Bapak, dan Gadis memiliki sifat rendah hati, baik, dan ramah. Tokoh Bapak digambarkan sebagai sosok yang baik hati tetapi memiliki pengetahuan yang terbatas seperti : tidak mengetahui dan mengenal semua jenis bunga anggrek. Tokoh Emak digambarkan sebagai sosok yang baik hati, dan menolong tanpa pamrih. Tokoh Gadis digambarkan sebagai tokoh gadis desa yang memiliki kepribadian kuat, cerdas, baik hati,setia tapi tidak mudah percaya dengan orang asing yang baru dikenalnya. Sementara itu, pelukis tua dan Gindo anaknya adalah dua lelaki dari kota yang mempunyai pemikiran modern, bersifat terbuka, memiliki banyak pengetahuan, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Keadaan sosial di desa tempat tinggal keluarga Gadis pun sangat nyaman, lingkungannya masih asri, pemandangannya masih alami, udaranya sejuk dan masyarakatnya pun ramah sebagi ciri masyarakat desa pada umumnya. Lingkungan sosial inilah yang menarik perhatian pelukis untuk mengabadikan semuanya menjadi lukisan. Akan tetapi, ketika pelukis meminta Gadis untuk menjadi objek lukisannya, Gadis pun menolak sebagai gadis desa yang tentu saja masih menyimpan unsur terbelenggu dalam dirinya. Ketika, Gindo berjanji akan kembali ke desa menemuinya, dengan setia Gadis pun menunggunya, karena dia merupakan sosok gadis desa yang setia dan memegang janjinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar