Sabtu, 26 Maret 2011

Kisah Kepompong Kecil


Pada suatu ketika di sebuah hutan hiduplah seekor ulat kepompong yang malang. Kepompong itu tinggal sebatang kara di salah satu pohon di hutan tersebut. Kedua orang tuanya meninggal beberapa waktu yang lalu, dan semenjak saat itu dia hanya tinggal sendirian. Suatu hari di bawah pohon tersebut lewat seekor ular yang besar dan congkak.
“Hai kepompong kecil, menyedihkan sekali nasibmu. Hidup sendiri tak punya keluarga, tak ada yang melindungi!” ujar si ular dengan nada meremehkan.

“Di matamu hidupku mungkin memang menyedihkan, tapi justru kesendirian inilah yang membuatku belajar mandiri dan melindungi diriku sendiri” jawab kepompong dengan tenang.
Mendengar jawaban kepompong, ular pun pergi berlalu meninggalkannya dengan tatapan yang congkak. Beberapa saat kemudian, seekor burung hinggap di dahan pohon tempat tinggal si kepompong. Burung itu memiliki warna bulu yang sangat indah sekali. Tiba-tiba ia menyadari jika di sebelah tempatnya bertengger ada seekor kepompong kecil.
“ Oh...ternyata ada kepompong kecil yang buruk rupanya di sini? Jelek sekali rupamu kawan, berbeda sekali denganku yang memiliki bulu-bulu yang indah ” ujar si burung sambil memamerkan bulu-bulu indahnya terbang mengitari si kepompong.

“Kau benar kawan, rupamu memang berbeda sekali denganku.  Kau begitu cantik dengan warna bulu-bulumu yang indah. Sedangkan aku hanya seekor ulat kecil yang buruk rupa” jawab kepompong seraya tersenyum.

“baguslah jika kau mengakuinya. Aku yakin sampai kapanpun tak kan ada orang yang tertarik berteman denganmu” ucap si burung seraya terbang meninggalkan si kepompong.
Sepeninggalan si burung, kepompong itu teringat pesan ibunya sebelum meninggal, ibunya berkata “jangan pernah menyerah dan putus asa dalam menjalani kehidupan ini. teruslah belajar untuk menjadi lebih baik. sesungguhnya kita tidak pernah sendirian dalam hidup ini, karena Allah selalu bersama kita, bersama orang-orang yang sabar”. Kepompong itu kemudian berdoa kepada Allah semoga dia selalu diberikan kekuatan untuk terus belajar menjadi lebih baik, bersabar menjalani hidupnya, dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah. Akhirnya si kepompong pun tertidur pulas  karena hari sudah larut malam.
Keesokan harinya matahari memancarkan sinarnya melewati celah-celah dedaunan yang basah oleh tetesan embun. Kopompong kecil pun terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba kepompong kaget bukan kepalang karena mendapati dirinya sudah berubah. Tubuhnya kini tak lagi berbentuk ulat kecil, tapi kini dia  memiliki sepasang sayap indah nan elok berwarna coklat keemasan. Perlahan-lahan dia mencoba mengepakkan sayapnya, dan ternyata dia bisa terbang. Sejak saat itu kepompong kecil telah berubah menjadi seekor kupu-kupu yang cantik rupawan. Dia kini memiliki banyak teman dan dikenal di hutan karena sifatnya yang suka menolong dan baik hati. Kesabarannya selama ini telah berbuah manis. Hinaan dan cacian dari teman-temannya selama ini, selalu dihadapinya dengan sabar dan lapang dada. Bahkan semua itu menjadikannya semakin mandiri dan belajar menjadi lebih baik lagi sesuai pesannya ibunya.
Begitupun halnya dengan kita, kisah kepompong kecil ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi kita. Kesabaran itu suatu saat pasti akan berbuah manis. Kita harus selalu sabar akan sikap orang yang meremehkan kita, kita harus selalu sabar untuk belajar menjadi lebih baik lagi. Dalam belajar di sekolah kita pun bisa mejadikan kisah kepompong ini sebagai suri tauladan. Kita harus selalu semangat belajar, jangan malas dan mudah menyerah karena kesabaran dan ketekunan itu pasti akan berbuah kebaikan untuk kita nantinya.

karya: Apriani Yulianti

Senin, 21 Maret 2011


Kalau lah isyarat mampu menerjemahkan hati
Kalau lah hati mampu merangkul kalbu
Kalaulah kalbu mampu mengakrabi nurani
Kalau lah nurani mampu menghangatkan galau
.......................................................................
Nanti pun jika waktu tlah ku taklukkan
Hati...
Kalbu.....
Nurani........
Galau............
Mereka kan bercumbu mesra membaur sekejap pada senja

oleh : Apriani Yulianti
      ( 21 Maret 2011
       saat senja tlah merangkak berlalu)

Minggu, 20 Maret 2011

kajian semiotik pada puisi


Benda Mati sebagai Metafor Kehidupan pada Puisi Sepasang Sepatu Tua Karya Sapardi Djoko Damono1

Oleh :
Apriani Yulianti2

ABSTRAK.  Sastra pada umumnya berarti segala sesuatu yangs tertulis atau pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana kepuitisan. Tanda-tanda dalam puisi tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Atas dasar luasnya gejala-gejala yang ditimbulkan dalam puisi itulah maka lahir teori pengkajian semiotik.

Kata kunci : sastra, puisi, pengkajian semiotik,tanda.

Pendahuluan
Dalam bahasa Indonesia kata sastra itu berasal dari bahasa sansekerta, yaitu akar kata sas dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi. Akhiran tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh sebab itu, sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau pengajaran. Sastra pada umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis atau pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Ini berarti bahwa bahasa yang dipakai sebagai sarana primer sastra dalah bahasa tulis. Bahasa merupakan medium utama dari karya sastra. Bahasa sebagai ujaran yang dihasilkan dari alat ucap manusia mengandung suatu kekuatan tanda di dalamnya. Kekuatan tanda itu muncul dari hubungan tanda dengan tanda (sintaksis), hubungan tanda dengan maknanya (semantik), dan hubungan tanda dengan pengguna (pragmatik).
Berdasarkan ketiga aspek hubungan tanda di atas maka kita mengenal adanya pengkajian semiotik dalam karya sastra. Membicarakan semiotika tidak akan lepas dari dua tokoh yang cukup berpengaruh terhadap kemunculan dan perkembangan ilmu ini.

1         Laporan  ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik dalam menempuh perkuliahan dan sebagai tugas pengganti  ujian akhir semester mata kuliah kajian puisi Indonesia yang diampu oleh Drs. H. Ma’mur Saadie, M.Pd dan Rudi Adi Nogroho, M.Pd

2         Penulis adalah mahasiswa Prodi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program sarjana UPI Angkatan 2009 dengan NIM 0900237

Adapun semotik berkembang dengan masing-masing tokoh yang dimilikinya. Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah pengembang bidang ini di Eropa, dia memperkenalkannya dengan istilah semiologi. sedangkan Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang mengembangkannya di Amerika dengan menggunakan istilah semiotik.
Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan pendekatan semiotik. Ada sedikit perbedaan yang dimunculkan dari kedua tokoh tersebut mengenai pendekatan mereka dengan menggunakan semiotic. Peirce lebih menekankan pada aspek logika karena dia adalah seorang ahli filsafat. Sedangkan Saussure lebih menekankan pada aspek bahasa karena sesuai dengan keahliannya di bidang linguistik.
Dalam pandangan semiotik, Saussure memandang; bahasa merupakan suatu sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno. (Masinambow 2002: iii). Dengan demikian tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi. Banyak disiplin yang menggunakan konsep ini diantaranya adalah; antropologi, arkeologi, arsitektur, filsafat, kesusastraan, dan linguistik. Hal ini berarti bahwa sebagai sistem teoritis yang mengkaji makna dapat ditampung berbagai perspektif makna yang berkembang dalam penelitian setiap disiplin. Dalam semiotik makna didefinisikan secara erat dengan tanda, namun hubungan antar makna dan tanda dikonseptualkan secara berbeda jika pendirian teoritis berbeda.
Puisi dalah salah satu jenis atau genre sastra. Sebagai salah satu karya seni sastra, puisi dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi itu suatu artefak yang baru mempunyai makna bili diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi pemberian makna itu tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan atau dalam kerangka semiotik (ilmu atau sistem tanda) karena karya sastra itu merupakan sistem tanda atau semiotik.
Seperti yang didituliskan dalam kumpulan makalah semiotik, Okke K. S. Zaimar menjelaskan bahwa karya sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua karena menggunakan bahasa sebagai bahan dasarnya. Karena itulah menganalisis dengan pendekatan semiotik menggunakan teori-teori yang bersumber pada linguistik.(Okke.2002:124).Meskipun pada dasarnya teori bahasalah yang paling tepat dalam menganalisis sebuah karya sastra terutama puisi, menurutnya tidak menutup kemungkinan analisis ini menggunaan teori Peirce.
Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebut dengan representamen--- haruslah mengacu pada atau mewakili sesuatu yang disebutnya sebagai objek yang dikenal dengan istilah referent. Jadi, jika sebuah tanda mengacu apa yang diwakilinya, hal itu dalah fungsi utama tanda tersebut. Misalnya, anggukan kepala sebagai tanda persetujuan, dan geleng kepala sebagai tanda ketidaksetujuan. Proses perwakilan ini disebut dengan semiosis. Adapun proses semiosis menuntut kehadiran bersama antara tanda, objek dan intepretant. Proses semiotik dapat terjadi secara terus-menerus sehingga sebuah intepretant menghasilkan tanda baru yang mewakili objek yang baru pula dan akan menghasilakan intepretant yang lain lagi. (Nurgiantoro.2002: 41).
Selanjutnya Peirce menambahkan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis tanda; (1) Icon, merupakan hubungan kemiripan. Misalnya foto. Lalu (2) Indeks, merupakan hubungan kedekatan eksistensi. Misalanya asap hitam tebal membumbung sebagai tanda adanya kebakaran. Dan yang terakhir adalah (3) Simbol, merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Warna hitam di negara kita disepakati sebagai warna yang melambangkan kedukaan dan hal yang mistis. Sedangkan putih adalah warna yang melambangkan kesucian dan ketulusan. Dan bahasalah yang kemudian menjadi alat penyebutannya. (Nurgiantoro.2002: 42).
Dalam teks sastra ketiga jenis tanda tersebut di atas, kehadirannya kadang tidak dapat dipisahkan. Karena ketiga tanda itu sama pentingnya dalam teks yang memang menggunakan bahasa sebagai alat penyampaiannya.
Pada kesempatan kali  ini penulis akan melakukan pengkajian semiotik pada puisi “Sepasang Sepatu Tua” karya Sapardi Djoko Damono.



SEPASANG SEPATU TUA


sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang
berdebu,
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua


1973

Kajian Teori
Puisi sepasang sepatu tua ini cukup pendek. Tipografi atau perwajahan puisi ini terbilang unik, karena awal kalimat tidak diawali dengan huruf kapital dan akhir kalimat tidak terdapat tanda titik, hanya terdapat beberapa tanda koma sebagai jeda antar kalimat. Selain itu puisi ini tidak tersusun atas bait-bait seperti puisi pada umunya, tetapi lebih berbentuk seperti narasi dengan pengaturan baris yang tidak rata kanan dan kiri. Hal inilah yang dapat melahirkan interpretasi yang luas untuk memaknai puisi ini.
Kalimat pertama yaitu, sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang berdebu, kalimat ini menjelaskan bahwa sepasang sepatu yang sudah tua atau usang tergeletak begitui saja di sudut sebuah gudang yang berdebu. Kalimat kedua yaitu, yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu,, kalimat ini menggambarkan apa yang ada di benak sepasang sepatu tua itu tentang sesuatu yang pernah mereka jumpai atau lalui. Sepatu yang kiri terkenang akan aspal yang meleleh, sementara yang kanan teringat akan jalanan berlumpur sehabis hujan. Selanjutnya digambarkan bahwa sepasang sepatu tua itu telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki yang pernah memakai mereka. Kalimat ketiga yaitu, yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa. Kalimat ini menggambarkan pikiran sepasang sepatu tua itu tentang apa yang akan menimpa mereka berdua karena usia mereka yang sudah tua. Sepatu kiri menerka jika besok mereka dibawa ke tempat sampah, lalu dibakar bersama seberkas surat cinta. Sementara itu sepatu sebelah kanan mengira jika besok mereka diangkut oleh truk sampah, lalu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa. Kalimat terakhir yaitu, sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua, kalimat ini menjelaskan bahwa sepasang sepatu tua itu saling berbincang-bincang dan berbisik mengenai sesuatu yang hanya mereka pahami berdua.
Ada dua jenis bunyi akhiran asonansi pada puisi ini, yaitu asonansi : u dan a. Pada kalimat pertama dan kedua terdapat bunyi akhiran asonansi u pada kata berdebu dan itu. Pada kalimat ketiga dan keempat terdapat bunyi akhiran asonansi a pada kata sisa dan berdua. Hal ini kian menambah keunikan dan unsur keindahan bunyi dalam puisi ini.
Bila kita melihat puisi ini kita akan menemukan beberapa gambaran tentang sepatu yang hubungannya dengan manusia. Untuk mengetahui makna dibalik hubungan tersebut, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai isotopi. Yang dimaksud dengan isotopi di sini adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat di sepanjang wacana. Isotopi adalah suatu bagian dalam pemahaman yang memungkinkan pesan apapun untuk dipahami sebagai suatu perlambangan yang utuh. Karena itu, dalam isotopilah makna mencapai keutuhannya. Dalam puisi ini terdapat tiga isotopi yang dominan, yaitu sebagai berikut :
Isotopi perbuatan :       
·         terkenang
·         teringat
·         Menerka
·         Mengira
·         saling membisikkan
Isotopi benda mati :
·         sepasang sepatu tua
·         tergeletak
Isotopi keadaan :
·         tergeletak
·         telah jatuh cinta
·         dibakar
·         dibiarkan
·         membusuk
ketiga isotopi yang dominan di atas mendukung tiga motif. Yang dimaksud dengan motif adalah unsur yang terus menerus diulang dan beberapa motif dapat mendukung kehadiran tema. (Okke. 2002: 124). Jika kita melihat kelompok motif tersebut di atas, dapat dilihat isotopi yang menonjol adalah isotopi perbuatan yang disususul dengan isotopi benda mati dan isotopi keadaan. Menonjolnya isotopi perbuatan ini menunjukkan motif utama pada puisi ini adalah aktifitas pada beberapa sisi terutama mengenai kesetiaan manusia hendaklah mencontoh pada sepasang sepatu, jika kita melihat isotopi selanjutnya yaitu benda mati dan keadaan. Dengan demikian perbuatan mencontoh benda mati (dalam hal ini sepasang sepatu tua) adalah yang harus dilakukan oleh manusia dalam puisi ini. Artinya sepasang sepatu tua dijelaskan sebagai metafora kehidupan.

Kesimpulan
Akhirnya, berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa sepasang sepatu adalah metafor dari kehidupan yang dijalani manusia. Hal tersebut dapat disebut sebagai tema pertama. Kemudian telah dijelaskan pula aktifitas benda mati dalam hal ini sepasang sepatu tua, menyiratkan aktifitas tokoh yang ingin menirunya dan menjadikan sepasang sepatu tersebut sebagai simbol kesetiaan, rahasia dan bahkan kegetiran.
Adapun isotopi perbuatan yang hadir dominan dalam karya ini menunjukkan bahwa aktifitas semua benda mati menjadi sama halnya dengan aktifitas manusia yaitu, aktifitas untuk berpikir dan mengenang segala yang pernah dialaminya, aktifitas untuk merasakan kesedihan atasc nasibnya yang entah akan berujung seperti apa.. Hal ini seakan menyiratkan bahwa segala mahluk hidup yang ada di dunia ini termasuk manusia juga memiliki aktifitas yang boleh dikatakan sama yaitu dengan menggunakan perasaan, akal (insting pada hewan) dan juga kegiatan yang sesuai dengan caranya masing-masing. Aktifitas benda mati juga dapat dijadikan cerminan bagi kehidupan manusia, di mana mereka dengan kepasrahannya tunduk pada aturan dan takdir yang telah dituliskan.

Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko.1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT. Grasindo

Luxemburg, Jan Van.1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermassa

Pradopo, Rachmat Djoko.2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Ratna, Nyoman Kutha.2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sardjono, Partini.1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung: Pustaka Wina


ummi kultsum.blogspot.com





                                                                                                                    

Sabtu, 19 Maret 2011

kajian sosiologi sastra pada cerpen





Kajian Sosiologi Sastra pada Cerpen “Romansa Merah Jambu”


a.      Teori Pembahasan

1. Pengertian Sosiologi Sastra
          Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
          Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
          Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. 
2. Sejarah Pertumbuhan
          Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
          Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
          Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
          Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
          Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
          Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
          Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.

Cerpen “Romansa Merah Jambu”
Bagi Gadis, menyendiri di tepi danau, menunggu seseorang yang pernah berjanji padanya tidak cuma bingung dan termenung.
Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu, dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam. Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening.
Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat, dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam.
Semula, Bapak dan Emak agak ragu untuk mengizinkan Si Pelukis dan putranya mendirikan tenda di tepi ladang mereka. Berkat perilaku santun kedua tamu, hati orangtua Gadis luluh. Keramahtamahan Si Pelukis dan putranya menjadikan mereka cepat akrab. Usia putra Si Pelukis dan Gadis hampir sebaya.
Setelah mendirikan tenda, Si Pelukis minta tolong kepada Emak untuk memasak makanan buat sarapan, makan siang, dan malam—selama mereka bermukin di tepi ladang yang lengang itu. Bapak mengizinkan Emak memasak untuk mereka. Si Pelukis menyerahkan sejumlah uang untuk belanja kepada Emak. Uang itu ditolak Emak. Tetapi, setelah dibujuk berulang-ulang oleh Si Pelukis dengan sabar dan manis, akhirnya uang yang cukup banyak itu diterima Emak. Giliran Gadis menolak uang itu. Katanya, tidak pantas tamu membayar makan kepada tuan dan nyonya rumah. Si Pelukis mengatakan kepada si perawan cantik itu, ”Aku dan putraku bukanlah tamu keluarga di ladang ini. Kami tidak mau membebani keluarga ini. Uang itu tak seberapa. Ya, itu hanya sekadar tanda terima kasih. Kalau pemberian kami itu ditolak, sama dengan keluarga ini tidak ikhlas menerima kami,” lanjut Si Pelukis, lirih.
Setelah Si Pelukis dan putranya masuk tenda, Gadis menggerutu kepada Emak.
”Uang pemberian Si Pelukis itu akan membuat Bapak, Emak, dan aku berutang budi kepada Si Pelukis. Keluarga kecil kita ini bisa disangka mata duitan,” sambungnya. Bapak mengatakan, uang itu sebagai tanda terima kasih. Tidak elok menolak ucapan terima kasih dari seseorang, lanjut Bapak. Sejak saat itu, Gadis diam. Dia pergi ke tepi danau dan menyulam.
Selesai sarapan pagi, esoknya, Si Pelukis mengatakan kepada Bapak, beberapa hari ini, ingin melukis bunga anggrek. Dia mengetahui ada sekitar 30.000 jenis bunga anggrek di seluruh dunia. Tetapi, dari sekian banyak jenis anggrek itu, dia hanya akan melukis beberapa jenis saja. Kemudian, dia menunjukkan kepada Bapak daftar nama puluhan macam bunga anggrek, yakni Anggrek Bambu, Anggrek Bulan, Anggrek Buntut Bajing, Anggrek Congkok Kuning, Anggrek Gebeng, Anggrek Hitam, Anggrek Jambrut, Anggrek Janur, Anggrek Kalajengking, Anggrek Kancil, Anggrek Kasut Belang, Anggrek Kasut Berbulu, Anggrek Kasut Pita, Anggrek KembangGoyang, Anggrek Kepang, Anggrek Lau-Batu, Anggrek Lilin, Anggrek Loreng, Anggrek Mawar, Anggrek Merpati, Anggrek Mutiara, Anggrek Pandan, Anggrek Tanah Kuning, Anggrek Tebu, Anggrek Uncal, dan Anggrek Nan Tongga. Sebagian besar nama anggrek itu masih sangat asing bagi Bapak.
Bapak mengaku sejujurnya, sedikit sekali pengetahuannya mengenai bunga anggrek. Bapak tak menjamin, di hutan sekitar ini terdapat anggrek yang diinginkan Si Pelukis. Sambil tersenyum, Si Pelukis berkata, ”Seberapa adanya sajalah, Pak.”
Selama Si Pelukis dan Bapak mencari bunga anggrek di dalam hutan, Emak memasak di dangau. Gadis dan putra Si Pelukis duduk di tepi danau. Mereka ngobrol dengan seorang pemancing tua, sahabat Gadis. Si Pemancing telah berhasil mengail ikan gabus, lele, gurame, betok, dan mujair. Setelah itu, putra Si Pelukis mengajak Gadis duduk di bawah naungan batang rengas *) besar dan tinggi. Kedua orang muda itu saling menanyakan nama lengkap dan bertukar cerita.
”Namaku Kiagus Muhammad Gindo,” putra Si Pelukis menyebutkan nama lengkapnya. ”Panggil saja aku Gindo,” lanjutnya.
”Namaku Masayu Nurul Indahwati,” kata Gadis malu-malu. ”Biasanya, aku dipanggil Gadis,” ucapnya sambil melipat selembar kain belacu putih yang sedang disulamnya.
”Berapa banyak sarung bantal yang sudah Gadis sulam?” tanya Gindo.
”Lumayan,” jawab Gadis, ”Sulit aku menghitungnya. Sejak kecil aku sudah belajar menjahit dan menyulam pada Emak. Selain menyulam sarung bantal, aku menyulam hiasan dinding untuk pajangan, taplak meja, saputangan, tas kain, dan macam-macam lagi,” cerita Gadis.
”Kau hebat sekali,” puji Gindo.
”Ah, biasa saja,” ujar Gadis.
Gindo terkejut setelah mendengar cerita Gadis tentang kemampuannya membudidayakan ikan patin dan nila. Gadis akan meneliti ikan belida, dalam waktu dekat. Ternyata, Gadis bukanlah perawan dusun yang berpikir kuno dan tradisional. Gindo memberondong Gadis dengan berbagai pertanyaan tentang masa kecil dan masa kininya, tapi tidak berhasil mendapat jawaban sesuai kehendak hatinya. Gadis yang berwajah cantik dan tenang, pemilik mata sebening air danau, tak tak membuka pintu rahasia hatinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis.
Waktu terus berlalu. Si Pelukis telah menyelesaikan lukisan bunga anggrek, satwa liar, danau, peladang, pemancing tua, dan mawar hutan. Terakhir, sebelum pamitan, dia minta izin kepada Bapak dan Emak untuk melukis Gadis dengan latar belakang danau dan kebun tembakau. Kata Bapak dan Emak, terserah pada Gadis. Mengejutkan sekali, Gadis menolak jadi model. Dia merasa tidak berminat dan tak berbakat. Dia juga malu, bila wajah dan tubuhnya diabadikan di kain kanvas, kemudian akan dipamerkan di hadapan para kolektor dan penggemar seni lukis di kota-kota besar. Si Pelukis tak putus asa. Dia membujuk Gadis dengan menawarkan sejumlah uang sebagai honorarium. Iming-iming itu tak mengubah pendirian Gadis.
”Maafkan aku, Pak Pelukis,” kata Gadis sopan. ”Bagaimana mungkin Gadis melakukan pekerjaan yang berbeda dengan kata hati? Bila gadis memaksakan diri menjadi model lukisan Bapak, aku yakin lukisan itu tidak akan berjiwa,” lanjutnya tegas, tapi sopan. Kata-kata Gadis, itu menambah kagum Gindo kepadanya. Di dalam hati, Gindo kurang setuju, Gadis menjadi model lukisan ayahnya. Tumbuh benih cemburu di hati pemuda kritis itu.
”Tak apa-apa kalau Gadis keberatan,” kata Si Pelukis. ”Aku tak hendak memaksa,” lanjutnya, berupaya menyembunyikan rasa kecewanya.
Gadis usul kepada Si Pelukis agar melukis sosok dirinya di dalam imajinasi, tetap berlatar belakang danau, atau ketika dirinya sedang memandang sekuntum mawar hutan. Lukisan berdasarkan imajinasi, kata Gadis mungkin akan lebih indah dan berjiwa dibanding yang natural. Si Pelukis tersentak. Dia tersindir. Dia sadar, dirinya bukanlah tukang gambar. Ali adalah seniman lukis, atau perupa berpengalaman, kata hatinya. Saran Gadis diterimanya dengan jiwa besar. Si Pelukis mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Gadis yang ayu, lembut keibuan, dan selalu tampil alami. Bersahaja saja dia. Saat itu pula, Si Pelukis terkenang pada 0lga, istrinya yang sudah lama tiada.
***
Kehadiran Si Pelukis dan putranya beberapa tahun silam dikenang Gadis sambil menyulam di tepi danau. Senja kali ini bergerimis. Pelangi melengkung di seberang sana danau. Gadis membayangkan tujuh bidadari turun meniti pelangi. Para putri kayangan itu mandi berkecipung di air danau—yang kemerahan disinari matahari senja—semerah isi semangka. Pelangi dan bidadari pun menjadi inspirasi bagi Gadis untuk menyulam. Senja itu, Gadis menyulam sekuntum mawar hutan di selembar kain belacu putih. Dia sangat cemas apabila seluruh hutan dan ladang Bapak kelak menjadi lahan kebun kelapa sawit, tak akan ditemukan lagi mawar hutan. Itulah sebabnya Gadis mengabadikan mawar hutan di dalam beberapa sulaman untuk hiasan dinding. Salah satu sulaman bunga mawar hutan, khusus disediakannya untuk Gindo.
Ketika pamitan, dulu, Gindo mengatakan, awal tahun depan akan menemui Gadis di tepi danau. Sekian lama, Gadis setia menunggu, tapi Gindo tak kunjung datang. Penanggalan di dinding dangau telah diganti Bapak dengan kalender baru, Gindo belum juga datang. Gadis segera kembali ke kota, sehabis cuti tahunan, melanjutkan penelitian ikan belida untuk gelar S2-nya. Si pemancing tua, berjenggot putih, sahabat Gadis di tepi danau merasa sepi setelah Gadis pergi.
Gindo tak berniat melanggar janji kepada Gadis. Musibah telah menimpa Si Pelukis gaek, ayahnya. Jip yang dikendarainya masuk jurang, ketika meneruskan pengembaraan sendirian untuk melukis Bukit Barisan. Lelaki tua pemberani itu tewas di tempat kejadian. Gindo berhalangan menemani ayahnya karena sedang mengikuti ujian S2—jurusan ilmu komunikasi di ibu kota provinsi. Mengenai musibah itu, Gindo telah mengirim e-mail kepada Gadis. Pada bagian akhir e-mail itu, Gindo menulis:
”Gadis yang baik. Kini, aku sudah yatim piatu. 0lga, ibuku, yang asal Rusia meninggal 27 tahun lalu, setelah aku lahir. Ayah tidak pernah menikah lagi karena setia, dan sangat cinta pada Ibu. Bila rindu pada Ibu, Ayah ziarah ke makamnya berlama-lama. Aku janji, 40 hari setelah Ayah wafat, aku segera menemuimu di danau. Banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Gadis, Ketahuilah, di dalam diriku sedang menguntum romansa merah jambu. Sampai di sini dulu, ya? Salam. Gindo selalu merindukanmu.” Pesan itu tak sampai karena laptop milik Gadis sedang mengalami error.
Di ujung tahun, Gindo menyetir jip tua peninggalan ayahnya menuju danau. Dia tercengang di depan pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda setinggi lutut—terbentang di depannya seluas mata memandang. Danau makin sunyi. Pemancing tua entah berada di mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi yang berdaun rimbun di sekitar danau itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi perkebunan sawit oleh petugas keamanan berseragam hijau-loreng. Para petugas keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, ”Di mana Emak, Bapak, dan Gadis, setelah hutan, dan ladang mereka digusur?
(Mengenang Tanjung Serian, dusun Bapak, Kepur, dusun Emak, dan Tanjung Raman, dusun Taufik Kiemas—di tepi Sungai Lematang).
Villa Kalisari, Depok, 04 Juni 2010


Sumber : kompas tahun 2010




c.       Kaitan Sosiologi sastra dan Cerpen

Pada cerpen “Romansa Merah Jambu” keadaan sosial yang digambarkan secara garis besar adalah mengenai hubungan dua buah keluarga yang berasal dari desa dan kota. Kedua keluarga tersebut memiliki latar belakang sosial, kepribadian, sikap, dan sifat yang berbeda pula. Keluarga Emak, Bapak, dan Gadis memiliki sifat rendah hati, baik, dan ramah. Tokoh Bapak digambarkan sebagai sosok yang baik hati tetapi memiliki pengetahuan yang terbatas seperti : tidak mengetahui dan mengenal semua jenis bunga anggrek. Tokoh Emak digambarkan sebagai sosok yang baik hati, dan menolong tanpa pamrih. Tokoh Gadis digambarkan sebagai tokoh gadis desa yang memiliki kepribadian kuat, cerdas, baik hati,setia tapi tidak mudah percaya dengan orang asing yang baru dikenalnya. Sementara itu, pelukis tua dan Gindo anaknya adalah dua lelaki dari kota yang mempunyai pemikiran modern, bersifat terbuka, memiliki banyak pengetahuan, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Keadaan sosial di desa tempat tinggal keluarga Gadis pun sangat nyaman, lingkungannya masih asri, pemandangannya masih alami, udaranya sejuk dan masyarakatnya pun ramah sebagi ciri masyarakat desa pada umumnya. Lingkungan sosial inilah yang menarik perhatian pelukis untuk mengabadikan semuanya menjadi lukisan. Akan tetapi, ketika pelukis meminta Gadis untuk menjadi objek lukisannya, Gadis pun menolak sebagai gadis desa yang tentu saja masih menyimpan unsur terbelenggu dalam dirinya. Ketika, Gindo berjanji akan kembali ke desa menemuinya, dengan setia Gadis pun menunggunya, karena dia merupakan sosok gadis desa yang setia dan memegang janjinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis.

 

 


Selasa, 11 Januari 2011

periodisasi sastra indonesia

Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:

Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
  • Angkatan Pujangga Lama
  • Angkatan Sastra Melayu Lama
  • Angkatan Balai Pustaka
  • Angkatan Pujangga Baru
  • Angkatan 1945
  • Angkatan 1950 - 1960-an
  • Angkatan 1966 - 1970-an
  • Angkatan 1980 - 1990-an
  • Angkatan Reformasi
  • Angkatan 2000-an

pengertian sastra Indonesia

Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.

pengkajian semiotika pada puisi